Konflik Batin Bercerita
Bingung mau mulai dari mana, tapi ayolah cerita aja biar gak stres. Di umur yang semakin dewasa ini, banyak sekali tantangan yang harus aku hadapi. Salah satunya adalah tantangan menghadapi quarter life crisis. Beberapa orang menertawakan faseku ini, dan itulah yang semakin membuat menjadi dewasa tidak semudah membingkai angan-angan. Mereka hanya tahu apa yang terlihat, tapi tak mau tahu dan cukup memberikan dorongan mental saja tidak. Apa salah kalau aku lebih sering memuji pencapaian diri sendiri? Bisa beli mekdi tanpa minta ke orang tua, yang dulu sangat sulit diberikan karena mahal. Mungkin itulah pencapaian yang bisa kubanggakan sampai detik ini. Konyol memang.
Di antara gempuran umur yang semakin bertambah dan strata sosial yang menghendaki untuk segera mencari pasangan hidup, rasanya masih jauh dan belum bisa terwujud. Daripada mencari, aku lebih memilih menunggu mukjizat dari Tuhan, yang entah dikabulkan kapan karena aku hanya duduk dan berdiam diri di kamar sambil menulis postingan di blog ini. Tapi, tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan, kan?
Masalahnya bukan itu. Aku bisa mengatasi hal tersebut jika sewaktu-waktu ditanya orang tua atau saudara-saudaraku. Kepelikan fase ini lebih kepada lingkungan sekitar yang membuatku malas menunjukkan kepada dunia bahwa aku bukan orang yang sepayah itu. Iya sih, aku memang tidak tahu tentang beberapa hal, tidak bisa mengerjakan semua hal dengan sempurna, tidak ada kata terlambat buat terus belajar bukan? Tapi, niat untuk belajar inilah yang sering disalahartikan. Rasa dan pikiran bahwa semua yang terjadi ini tidak adil langsung berkecamuk di dalam diri. Sampai akhirnya, ada masa terbesit dalam pikiran melakukan hal-hal gila seperti di film-film. Di sinilah baiknya Tuhan, Ia selalu mengingatkan bahwa kamu tak punya nyali besar seperti di film-film, bahkan untuk sekadar membantah.
- Lambat laun seperti public enemy
Saat di mana aku melakukan secuil kesalahan dalam hidup ini, seakan seluruh dunia menghakimi. Tak terima akan hal itu, aku langsung mendapatkan ganjaran atas apa yang telah kuperbuat dan tak menerima alasan bahwa manusia juga bisa lupa karena aku sedang tidak baik-baik saja. Mengherankannya lagi, ada mulut yang bisa berucap untuk mengingatkan dengan baik-baik, tapi lebih dipilihnya untuk diam dan membiarkan aku terjerumus lebih dalam. Di sinilah aku belajar banyak, bahwa manusia tak ada yang benar-benar peduli selain kedua orang tuaku. Sampai saat ini, aku masih dan akan terus memahami orang tuaku yang lebih tak ikut campur dalam setiap masalahku, karena mereka ingin aku bisa mengatasinya sendiri sebagai bentuk kedewasaan dan tak dicap sebagai anak manja. Nah, hal itu tak berlaku buat yang lain. Sudah cukup dan harus kubatasi pemahaman ini.
Kalau kalian yang membaca postingan ini menganggap aku orang yang problematik, salah. Aku justru menghindari masalah. Aku orang yang baperan, mungkin iya. Semua kata-kata umpatan yang seringkali membuncah di mulut, itu hanyalah bentuk pembelaan diri. Aku punya hati kecil yang seringkali dikecewakan. Hal ini pun juga disalahartikan. Padahal, ada umpatan yang jauh lebih tidak beretika. Jujur, dulu aku sangat takut buat mengumpat. Mengumpat adalah dosa bagiku dulu (walaupun emang dosa). Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang menganggapku lugu dan bisa jadi bahan olokan karena diam saja. Satu-satunya jalan untuk mematahkan persona itu, ikutlah aku mengumpat. Ya kali.....seru lho ternyata....jauh lebih lega....Wkwkwkwkw....*maap
- Terlalu baik. Ava iyahhh????
Aku adalah orang baik. Udah baik, rajin lagi (walaupun belum kaya). Sayangnya, persona ini juga menjadi masalah buat sekitar. Aku bahkan pernah ditegur dengan bercandaan sihh, tapi sakitnya real hanya karena aku baik dan rajin. Aku mendapatkan spotlight (bukan penghargaan sih), tapi akhirnya itu membawaku pada anggapan yang kurang kusuka. Saat aku mempunyai pencapaian selain bisa beli mekdi, oh ternyata begini rasanya, tak benar-benar ada yang mengerti. Dengan sadar pencapaian itu hanyalah kamuflase. Inilah yang membawaku kembali pada poin yang pertama.
Oiya, mungkin postingan ini isinya hanya keluhan. Cuma bisa ngomong doang, tapi action buat mengatasi sulit dilakukan. Kalimat seperti itulah yang semakin menggerus konflik di batin. Setiap orang punya fasenya sendiri buat menjalani dan mengatasi masalahnya. Kamu dan aku tentu berbeda. Anak kembar yang lahir dari rahim yang sama saja pasti ada bedanya, apalagi kita yang jelas-jelas sudah berbeda sejak lahir.
Aku menulis ini karena jujur tak punya tempat curhat dan seperti di awal tujuannya agar tidak stres. Curhat ke ibu saja kadang ditepis karena aku payah, hufttt....jadi kutulislah di blog ini. Semoga kalian yang membaca bisa bijak dalam menyikapi konflik di batinku. Aku tak butuh tanggapan, cukup kalian tahu bahwa setiap manusia punya prosesnya masing-masing, tak semua hal bisa menyenangkan banyak orang, tak semua yang terucap dapat diterima semua orang.
Sekian dariku. Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Salam Dilemmaphobia :)
0 comments