Reality Game : Sebuah Cerpen
Sebelum fajar menyingsing pun, riuh para tetangga yang akan memulai harinya sayup-sayup terdengar dari dalam kamarku. Suara khas para ibu dengan segudang keriweuhannya, anak-anak yang sudah bercanda riang, dan para bapak yang mulai menderu motornya. Maklum, beginilah fenomena hidup di perkampungan gang senggol. Dan aku harus bangun seperti biasanya dengan suara pertikaian dari luar kamar. Sungguh, aku benci perbedaan hidupku dengan para tetanggaku.
Dengan muka kusam dan
kantung mataku yang masih hitam seperti panda, sekali lagi aku harus menerima
kenyataan itu, walau sangat perih di batin saja. Mereka bertengkar lagi?
Aku tersenyum tipis. Aku pun bangun dari kasur dan menuju ke meja belajar.
Sudah terlihat di sana komputer yang belum kumatikan dari semalam. Aku begadang
seharian, berjuang untuk mencari pekerjaan. Namun sampai detik ini, aku masih
belum mendapat panggilan kerja.
Suara pintu depan berdebam.
Tanda bahwa Bapak telah pergi untuk mengakhirinya. Tiba-tiba, terdengar suara
ketukan dari pintu kamarku. Tok…Tok…Tok…Tok. Aku pun menoleh ke arah
pintu. Pintu itu pun terbuka. Rupanya ibuku.
“Ada apa, Bu?” aku
bertanya dengan pelan.
“Ayo, makan!”
Aku pun memutuskan untuk
keluar dari kamar dan duduk di meja makan.
“Hari ini masak apa, Bu?”
kataku sembari menarik kursi di meja makan.
“Masak sayur sop
kesukaanmu.”
Aku duduk di meja makan
dan melihat makanan yang ada di sana. Enak. Aku pun mengambil piring serta sendok untuk
makan. Sementara Ibu duduk di depanku, melihatku makan dengan lahap. Aku sadar
itu bukan tatapan biasa. Aku pun menatapnya balik.
“Ibu cantik hari ini.” kataku
sambil tersenyum lebar. Namun, ibu tersenyum kecut. Aku kembali memujinya, “Masakan Ibu juga enak. Makasih ya, Bu.”
Lalu, Ibu menatapku
dengan serius. Aku menjadi takut. Ia bahkan tidak membalas pujianku. “Abi…”
Suaranya yang lirih hampir membuat bulu kudukku merinding.
“Iya, Bu?” jawabku pelan.
“Bapak dan Ibu mau
bercerai…”
Aku terpaku, mencoba
mencerna kata-kata Ibu barusan. Semua kenangan terputar kembali di otak. “Kalau
memang itu yang terbaik...ya sudah, Bu. Yang penting Ibu bahagia.” kataku
sambil tersenyum getir, mencoba mengikhlaskan keputusan orang tuaku.
Rumah yang tidak pernah terasa seperti
rumah, akan berakhir.
Setelah kejadian tadi
pagi, aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Hitung-hitung refreshing
sebentar dari permasalahan hidup ini. Aku menyusuri jalan raya, melihat gedung-gedung
pencakar langit dan berbagai jenis pedagang kaki lima. Aku ingin menikmati rasa
sendu yang bergejolak ini dengan aesthetic, layaknya muda-mudi masa kini yang menikmati senjanya dengan kopi
kekinian. Tapi, aku hanya mampu membeli kopi keliling di tepi jalan ini. Aku
pun berinisiatif untuk mendatangi salah satunya.
“Pak, kopinya satu, dong.”
“Siap, Mas.” kata bapak
penjual kopi tersebut sambil mengacungkan jempol.
Aku membalasnya dengan senyuman.
“Jual rokok nggak, Pak?” tanyaku
tiba-tiba.
“Jual, Mas.”
“Rokok Gudang Garam Kretek
satu, Pak.”
“Oke, Mas. Ini rokok sama
kopinya.”
Aku berterima kasih kepada
bapak itu. Tentu saja tidak lupa membayarnya. Lalu, kulanjutkan menikmati
keduanya dengan duduk di pinggir jalan. Semua pelik ini terlalu berat. Andaikan
sebuah pelukan datang dan menghilangkan sejenak beban ini.
Setelah semuanya habis,
aku berdiri dan melanjutkan perjalananku tanpa tujuan. Dari siang sampai malam,
entah apa yang kucari. Sepertinya aku hanya butuh ketenangan. Di tengah
perjalanan aku melihat satu toko kaset tua. Aku bahkan tak ingat ada sebuah
toko kaset di sekitar sini.
DICARI KARYAWAN PARUH
WAKTU MINIMAL 18 TAHUN. PENDIDIKAN MINIMAL SMA/SEDERAJAT. PAHAM GAME DAN NIAT
KERJA AJA.
Rasa penasaranku akan
toko itu pun muncul, dan langsung saja kumasuki toko itu. Ternyata, toko ini
menjual kaset video game. Mataku berbinar-binar dan muncul banyak
harapan di hatiku. Aku menawarkan diri untuk bekerja, namun mereka menatapku
dengan ragu.
“Memangnya kamu yakin mau
kerja di sini?” kata pemilik toko itu dengan ketus.
“Yakin! Saya sangat yakin.”
“Apa yang membuatmu ingin
bekerja di sini?”
“Saya butuh uang untuk
biaya hidup saya. Selain itu, saya juga pecinta video game. Jadi, saya
merasa cocok dengan pekerjaan yang ditawarkan.”
“Hmmm…baiklah kalau
begitu. Kamu boleh bekerja mulai besok pagi.”
“Benarkah?” aku menaikkan
suaraku karena terlalu senang.
“Tentu saja. Selamat
bergabung, Mas...” jawab pemilik toko dengan nada datar.
“Abi, Pak. Abindra Putra.”
kataku dengan girang sambil menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Bapak itu
menjabat tanganku dengan wajah yang hampir tak berekspresi.
“Kalau Bapak sendiri?”
tanyaku sambil memiringkan kepala.
“Faizal. Panggil saja Pak
Izal.”
“Baik, Pak Izal. Terima kasih
untuk kesempatan yang sudah diberikan. Saya akan bekerja dengan sebaik mungkin.”
“Sama-sama. Besok datang
ke sini jam 8 pagi, ya!”
“Siap, Pak.” kataku
dengan girang sambil menundukan kepala pada Pak Izal.
Aku sangat bahagia
mendapat pekerjaan. Tempat kerjanya pun menjanjikan karena zaman sekarang video
game banyak peminatnya. Gaji yang ditawarkan juga cukup untuk membantu
meringankan beban Ibu. Atasanku apalagi, baik orangnya walaupun sedikit aneh.
Hari ini adalah hari
pertama aku bekerja. Hal pertama yang kulakukan adalah membuka ponselku. Masih
jam 5 pagi ternyata. Masih terlalu pagi untuk bekerja. Akhirnya aku
memutuskan untuk tidur lagi. Aku mengatur alarm jam 6 pagi supaya tidak kebablasan.
Alarm ponselku pun
berdering tepat pukul 6. Aku langsung membuka mata peralahan-lahan dan duduk di
atas kasur. Setelah itu, aku berdiri dan langsung menuju ke kamar mandi untuk
menghilangkan rasa kantuk yang tidak berkesudahan ini. Tapi agaknya rasa lelah
dalam batinkulah yang membuat kantuk ini tak hilang.
“Semangat Abindra! Kamu
pasti bisa! It’s time to start a new day.” kataku di depan kaca sambil
menyemangati diri sendiri. Aku sudah memberitahu Ibu kalau aku mendapat
pekerjaan baru. Ia pun turut senang mendengar kabar tersebut, walaupun rasa
sakit dan sedihnya tidak bisa dimungkiri lagi.
Di perjalanan, melewati
gang sempit kampungku, tak sengaja aku berpapasan dengan anak Pak RT yang
seumuran denganku dan dia telah menjadi karyawan di salah satu perusahaan besar
di ibukota ini. Ia mengenakan setelan baju yang bersih dan rapi, senyumnya pun
menawan. Keluarga Pak RT juga sudah seperti keluarga cemara. Keluarga yang
selalu jadi panutan warga kampung ini. Wajar ibu-ibu di kampung ini tak
henti-hentinya kagum dan selalu membanding-bandingkan kehidupan keluarganya
dengan keluarga Pak RT. Sangat berbeda denganku. Untungnya, aku masih punya ibu
yang selalu mendukungku.
Sesampainya di sana, aku langsung
menaruh tas dan mulai bekerja. Aku melakukan semua pekerjaanku dengan senang
hati, bahkan menyapu dan mengepel seperti pekerjaan yang ringan bagiku. Padahal
aku saja jarang membersihkan kamarku sendiri. Sampai pada suatu ketika ada
pembeli yang memakiku karena dinilai tak becus dalam menjelaskan karakteristik
dan mekanisme permainan sebuah video game lama berjudul Reality. Kaset
video game itu memiliki sampul bergambar mata yang cukup menyeramkan. Aku
sama sekali tidak tahu tentang game ini, bahkan aku juga tak ingat toko
ini menjualnya.
Selesai bekerja, aku
berniat untuk mencoba Reality Game ini. Aku ingin tahu bagaimana game
ini bekerja agar aku tak mendapat complain dari pembeli lagi. Sesampainya
di rumah, aku masuk ke kamar dan menyalakan komputer. Aku berniat untuk
memainkan video game yang baru saja aku bawa tadi. Aku sangat penasaran.
Game terbuka dengan sebuah
opening yang menceritakan latar belakang game tersebut. Aku
menyimak dengan saksama video yang sedang ditampilkan. Video itu menampilkan
seorang anak yang sangat pendiam yang berada dalam suatu ruangan. Lalu, muncul 2
pilihan, matikan komputer atau keluar dari kamar. Aku memilih untuk keluar dari
kamar. Sebelum ke tahap selanjutnya, aku menyempatkan untuk pergi ke kamar
mandi sejenak.
Setelah itu, kembali
muncul pilihan antara jalan ke dapur atau keluar dari rumah. Game macam apa
ini? Baru sebentar sudah bosan hanya memilih-milih saja. Saat aku
memutuskan untuk tidak memilih di antara kedua pilihan itu. Tiba-tiba terdengar
suara seram di kedua telingaku. Suara teriakan yang berdengung keras di
telinga. Aku sangat kaget dibuatnya dan mulai ketakutan. Suara itu sangat nyata
seakan ada orang lain dalam kamar ini.
Aku mengabaikan game
itu dan langsung memilih untuk keluar dari rumah, karena pikirku mungkin dengan
keluar dari rumah bisa meredakan ketakutanku barusan. Tapi, tak ada satu orang
pun di luar padahal ini masih jam 3 sore. Lalu, ada seorang wanita paruh baya
penjual jajanan pasar yang membawa 2 keranjang. Terlihat raut wajahnya yang
sedih, mungkin karena barang dagangannya belum laku dari pagi. Dia menatapku seakan ingin memohon padaku
agar membeli jajanannya.
“Jangan pergi ke sana,
Nak!” wanita itu memperingatkanku sambil menunjuk ke arah depan gang kampung
dan berlalu begitu saja. Memangnya ada apa?
Rasa penasaranku pun
kembali muncul. Aku pergi menuju depan gang. Benar saja, orang-orang kampung
sedang berkerumun. Aku memincingkan mataku. Aku melihat dengan saksama seorang
laki-laki yang tergeletak di sana. Ternyata anak itu adalah anak Pak RT. Dia
menjadi korban penusukan. Dia meregang nyawa karena kehabisan banyak darah.
Aku tak habis pikir
dengan semua kejadian aneh ini. Orang-orang kampung melihatku dengan tatapan
penuh curiga dan benci.
“Dasar anak gak tahu
diri!!!” maki salah satu warga padaku.
“Kenapa, Nak?” Ibuku
menangis melihatku.
“Sudah kubilang,kan?
Jangan pergi.” kata wanita paruh baya tadi sambil menyengir menakutkan.
Aku berlari pulang ke rumah dan langsung masuk kamar. Apa maksudnya semua ini? Aku melihat layar komputerku yang masih memainkan Reality. Tampilannya sudah berubah dari yang terakhir kutinggalkan. Tampilannya kembali pada seorang anak yang berada di dalam ruangan. Namun, anak itu tampak tertidur di atas kasur dan memegang sebilah pisau. Dan akhirnya kusadari, dia adalah aku, yang meregang nyawa pula akibat kebenciannya pada orang-orang di sekitar yang banyak menyiksa batinnya dibandingkan memperdulikan perasaannya. Sementara video game ini adalah sebuah proyeksi nyata para pemainnya untuk terus menentukan pilihan hidup.
Cerpen ini sebenarnya hasil karya dari salah satu muridku, yang terinspirasi dari film Choose or Die dari Netflix, dan telah aku parafrasa sedemikian rupa biar lebih masuk akal diterima oleh penikmat cerpen. Dari hasil penulisan cerpen ini, kami ingin membawa pesan bahwa dalam setiap kehidupan pasti akan dihadapkan pada sebuah pilihan. Entah pilihan itu akan membawa kita ke arah yang lebih baik atau tidak, tentu kita harus berani mengambil suatu keputusan dan mempertanggungjawabkannya kelak.
Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Salam Dilemmaphobia :)
0 comments