Suara-Suara Penyakitan

Ada suara-suara yang menelisik batin. Aku sebagai insan yang biasa dan tak kaya harta bahkan tak lepas dari pengaruh suara-suara itu. Mengapa seseorang tidak bisa memahami bahwa manusia diciptakan dengan jutaan wajah yang berbeda. Bahkan ketika menjumpai sesama kita yang serupa pun, ada yang membedakan. Cara berpikir, tingkah laku, dan kebiasaan. Mungkin tiga itu yang membedakan, menurutku. :)

source: pinterest

Aku berharap kita semua mengerti yang namanya perbedaan. Setiap insan punya caranya sendiri dalam menikmati hidup. Aku memiliki zona kenyamanan yang tentu berbeda dengan orang lain. Maaf jika ternyata aku tergolong introvert. Tapi seharusnya, kita semua memahami psikologi seseorang yang bahkan bisa kita pelajari secara teoritis itu. Kita semua lahir dan memulai kehidupan dari garis start yang berbeda. Pantaskah kita memaksakan kehendak diri terhadap orang lain, bahkan sampai mengusik kenyamanan dirinya?

Sebagai introvert, kami dikenal orang yang bisa menjadi ekstra ekstrovert kalau bersama dengan orang yang memang sangat dekat. Contohnya: keluarga atau sahabat. Memang, banyak di antara kita yang kadang tidak sedekat itu dengan keluarga, justru sangat menikmati hari-harinya jika bersama sahabat sejatinya. Aku sendiri tergolong dekat dengan keduanya.

Suara-suara itu memaksa agar kami tidak pilih-pilih. Itu benar, karena manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang hidupnya tidak lepas dari pengaruh orang lain. Dalam menyelenggarakan hidup, kita akan selalu membutuhkan orang lain. Orang lain itu pun bukan dari kalangan keluarga maupun sahabat saja, tapi semua manusia yang bernafas di muka bumi ini. Stop! Kalau kita berpikir hanya butuh orang lain jika memang sedang butuh saja. Jika semua punya mindset demikian, buat apa ilmu sosiologi menciptakan kalimat tersebut.

Kaumku adalah bagian dari manusia yang menempati muka bumi. Kami pun bukan spesies khusus atau alien dari luar dunia kenormalan manusia pada umumnya, yang tidak bisa berbaur bersama dengan yang lainnya. Tentu saja kami bisa. Tentu saja kami bisa mengobrol dengan orang lain. Tentu saja kami masih bisa bekerja secara profesional. Bahkan untuk sekadar menyapa orang tak dikenal pun, kami bisa menganggukkan kepala. Ah, ciri khas orang Indonesia sekali. Menyapa orang lain yang tidak dikenal bukan hal aneh di negeri ini. Ini adalah bukti keramahan kita sebagai warga Indonesia.

Kembali lagi pada suara-suara penyakitan. Jadi, apa yang suara-suara itu inginkan? Apa yang menjadi kekhawatiran utamanya? Lalu, untuk apa para ahli psikologi belajar tentang introvert dan ekstrovert kalau kita harus sama?

Dalam menanggapi hal ini, aku menempatkan diri sebagai orang yang netral. Sebenarnya aku memang berada dalam ambang keduanya. Lagipula, ada waktu bagi kita semua untuk bersama dengan orang lain, orang dekat, bahkan untuk diri sendiri. Apakah itu salah? Apakah sepanjang hari harus berderap bersama-sama? Maaf, jika mungkin itu tidak membuat sebagian dari kita senang.

Aku mengingat akan sesuatu. Bahkan dalam bermedia sosial pun, kita tidak boleh sembarangan memposting sesuatu yang sifatnya pribadi atau rahasia. Agak nglewak sih sebenarnya statment ini. :p Tapi, benar kan? Itu pun juga sama dengan kita berbagi cerita yang sifatnya lebih personal hanya kepada keluarga atau sahabat yang memang sangat kita percaya, dengan alasan karena tidak semua orang bisa memegang rahasia kita. Seorang sahabat pun kadang bisa tega mengkhianati temannya. Mungkin itulah kenapa seorang introvert hanya sangat dekat dengan orang-orang yang memang membuatnya nyaman, aman, dan merasa lebih dihargai.

Oiya, karena kita adalah manusia-manusia yang punya banyak perbedaan, kadang tidak semua introvert sama seperti teori-teori positif yang ada dibukunya. Demi mendapatkan kenyamanan, kita seringkali mengabaikan orang lain. Aku pun salah satunya. Bukan. Bukan karena aku tidak menyukai yang lain, tapi karena ada hal yang seperti kusebutkan di atas yang memang harus bersama dengan orang-orang tertentu. Aku pun juga tidak bisa mengatur takdir kalau mau tidak mau kadang juga harus bersama dengan yang tidak kusukai. Memang, seperti inilah wajah penjilat dan bermuka dua. Tapi, bukankah yang lain juga sama? Semua itu kembali kepada diri kita sendiri, apakah kita sudah mampu berdamai dengan hati nurani atau tidak? Aku sudah berada di tahap perdamaian itu. Bahkan sudah tidak peduli lagi bagaimana suara-suara itu memandangku, karena yang tahu akan diri ini adalah diriku sendiri.

Pada akhirnya, seorang introvert masih bisa diajak untuk berderap bersama. Kami pun masih punya hati untuk membantu orang lain yang sedang kesusahan. Tapi, harus kita ingat, hal itu tidak setiap waktu. Ada kalanya ia memilih bersama dengan kenyamanannya. Sekali lagi maaf jika itu tidak membuat suara-suara penyakitan itu sembuh dari kekhawatirannya.

Ada banyak makna dalam tulisan kali ini. Mohon untuk bijak dalam menyikapinya. Terima kasih yang sudah membaca dilema dari suara-suara penyakitan.

Salam, Dilemmaphobia :) 

You Might Also Like

0 comments