DILEMMAPHOBIA - Bab 3
Aku mulai baik-baik saja
Dengan apa
yang menimpaku
Meski aku kembali diingatkan
Sekolah setidaknya menjadi tempat pelarianku dari kehidupan yakuza yang berbahaya. Setidaknya aku punya hal yang bisa aku kerjakan untuk melupakan sejenak kepedihan yang aku alami. Jujur saja, aku sangat takut untuk mengakhiri hidupku sendiri. Rasanya tidak adil bila aku yang harus mati dalam pertarungan ini.
Setelah kejadian semalam yang sangat menyita waktu tidurku, aku harus bangkit dari tidur dan bersiap kembali bersekolah. Meskipun menuju sekolah yang tidak ada bedanya dengan neraka rumah ini. Berbekal airpod usang yang aku temukan di dalam paviliun dan bekal seadanya yang diberikan Bibi Shinai padaku, aku berjalan menyusuri jalanan Osaka yang masih lengang pagi itu.
Seperti biasa, aku harus pergi ke sekolah lebih dulu daripada Hiro
dengan berjalan kaki. Walau dulu ia pernah bilang jangan sampai ada yang tahu
aku tinggal di rumahnya dan tentang bagaimana kami bisa seperti sekarang ini, aku memang tidak berniat untuk
mengumbarnya. Untuk apa? Itu hanyalah aib yang sama sekali tidak bisa aku
hindari. Menutupinya adalah jalan terbaik.
Namun, hari ini keberangkatanku ke sekolah benar-benar berbeda.
“Ya, Hana! Tunggu di situ!” Hiro mengagetkan aku di gerbang depan.
Dia membuang rokoknya dulu lalu menghampiriku yang masih terheran-heran.
Meskipun sejak lahir ia sudah menjadi tuan muda, ia memang lebih
memilih pergi ke manapun dengan berjalan kaki. Tidak seperti tuan muda lain yang
membawa mobil mewah ke sekolah. Lagi pula, dia anak yakuza yang sangat hobi
berkelahi. Bibi Shinai juga pernah bilang, Hiro tidak mendapat fasilitas apapun
oleh ayahnya agar ia bisa menjadi lelaki sejati untuk bisa meneruskan usaha keluarga Kitamura dalam bidang otomotif. Perusahaan itu terbilang sangat besar di Jepang, dan mungkin menjadi alat untuk menutupi usaha gelap lainnya.
Dia mengguratkan segaris senyuman padaku, dan mulai mengatakan
hal-hal yang mengusikku. Dia menyerahkan buku untukku
mengerjakan tugasnya.
“Semalam aku lupa memberikan ini padamu. Jadi nanti sampai di
sekolah, kau kerjakan ini untukku.” Dia menyodorkan beberapa buku tugasnya
padaku.
“Lalu, antar buku-buku ini nanti ke atap sekolah. Ku tunggu kau di
sana. Jangan sampai terlambat! Kalau kau tidak ingin hal buruk menimpamu lagi.”
cecarnya.
“Ya.” jawabku singkat.
Sekolah tempat kami membuang waktu sebenarnya adalah sekolah yang cukup terpandang. Banyak anak-anak dari keluarga terpandang di Osaka yang bersekolah di situ. Tuan Kitamura pun menjadi salah satu alumni di sana, dan sekarang menjadi donatur terbesarnya. Dan tidak heran jika atmosfer sekolah yang mengandalkan uang di atas segalanya. Kalau ada uang, kita akan menang. Hiro yang sangat payah dalam pelajaran dan suka membuat onar masih dipertahankan. Ia bisa melenggang bebas sesuka hatinya. Orang-orang lemah sepertiku, tentu hanya sebagai bahan mainan untuk mereka yang punya uang.
“Oiya, hari ini kita berangkat bersama. Aku ingin mampir ke suatu tempat dulu, jadi kau harus menemaniku ke sana.”
Aku terkejut. Aku tak ingin terlambat.
“Tapi, nanti aku bisa terlambat . Aku juga bisa terlambat
mengerjakan tugas-tugasmu kalau harus mampir-mampir dulu.”
“Kau membantah? Makanya, sekarang jalanlah cepat! Ikuti aku!”
Kami berjalan cukup jauh menuju tempat yang ingin ia kunjungi. Aku
terus mengekorinya dengan wajah kesal setengah mati. Ini akan memakan banyak waktu.
Bahkan setelah kejadian semalam, dia tampak baik-baik saja. Apa
seperti ini kehidupan seorang yakuza. Luka-luka disekujur tubuh dapat sembuh
dalam semalam.
Kami berhenti di sebuah apotek di salah satu sudut perempatan.
Hiro ternyata ingin mengambil pesanan obatnya. Apoteker itu menyerahkan
sebungkus pesanannya. Dan setelah ia mendapat apa yang dicari, ia pun keluar
mendatangiku yang menunggunya di luar.
“Nih! Bawakan obat ini. Taruh saja di tasmu. Jangan sampai hilang!”
“Hah? Untuk apa?” Aku terkejut. Dia memintaku menyimpan
obat-obatan yang aku tidak tahu untuk apa ke dalam tasku. “Apa ini narkoba?”
tanyaku polos.
“Bodoh! Membeli narkoba tidak di apotek pusat kota seperti ini? Tolol! Dasar wanita
bodoh! Cepat simpan! Nanti sekalian kau bawa ke atap kalau kau sudah selesai
mengerjakan tugas-tugasku.”
Aku tak ingin menanggapinya lagi dan langsung mengiyakan saja
maunya. Setelah itu, kami kembali berjalan menuju sekolah. Benar saja, aku jadi
terlambat dibuatnya. Hiro melompati gerbang sekolah dengan mulus dan
meninggalkan aku sendirian di depan sampai security
sekolah membukakan gerbang dan membawaku masuk menuju kantor guru. Setelah itu,
aku mendapat poin atas keterlambatanku.
***
Tak hanya semalam waktuku tersita lelaki berengsek itu. Waktu
istirahat makan siangku pun iya. Aku hanya nyemil
sepotong sandwich yang kubeli di
kantin dengan terburu-buru. Siang ini, aku harus segera menyelesaikan
tugas-tugasnya. Baiknya, tidak ada yang mengusikku kalau aku sedang mengerjakan
tugas Hiro.
Rin Maiko, gadis sekelas denganku yang selalu merisakku dengan
kedua temannya pun hanya memandangku sinis. Terlihat kekecewaan di wajahnya,
atas kegagalan rencananya mengusikku hari ini.
Setiap kali aku harus dengan terpaksa mengerjakan tugas-tugas Hiro
yang sangat banyak, mereka memang tak pernah berani mengganggu apalagi semenjak
hari itu. Hiro mengatakan ke seluruh penjuru sekolah untuk tidak menggangguku
setiap kali aku sedang mengerjakan tugasnya.
Pernah ada yang melanggar larangan itu. Buku tugas matematika Hiro
basah saat dengan terpaksa kubawa ke toilet ketika aku ingin menyerahkannya
sebelum bel masuk. Ada beberapa gadis yang mengerjaiku di toilet. Dia membasahi
buku Hiro dengan sengaja. Bahkan, merusaknya perlahan-lahan dengan menyobeknya agar
aku dihajar Hiro. Tidak hanya itu, mereka menyeretku dan mendorongku hingga
aku masuk dan jatuh di kamar mandi pria. Setelah itu, mereka meninggalkanku
seorang diri di sana.
Ternyata, ada tiga siswa laki-laki yang masih di kamar mandi.
Mereka terkejut karena kedatanganku yang tiba-tiba terjatuh. Mereka pun bersiul
karena melihat rokku yang sedikit tersingkap naik. Mereka sontak menggodaku.
Aku mencoba menghindarinya hingga aku tersudut. Mereka tetap menggodaku. Tentu
saja, aku tak ingin hal gila terulang. Kejadian dengan Hiro saja sudah
membuatku hampir gila.
Mereka tak membiarkan aku lolos. Mereka mencoba menyentuh wajah
dan pipiku tapi langsung kuhempas tangan mereka satu per satu.
“Ayolah, Hana! Main-main sebentar dengan kami.” kata salah satu
dari mereka.
“Lepaskan!” kuhempas tangan salah satu dari mereka lagi dan lagi.
Cukup lama mereka mencoba menyentuhku dan air mataku mulai
menetes. Perasaan takut kembali. Bagaimana aku bisa membunuh Hiro ataupun
kelompok Kitamura kalau dengan mereka saja aku setakut ini hingga tak bisa
melakukan apapun selain menangis.
“Ya, Hana! Apa yang sedang kau lakukan di sana?”
Ketiga siswa laki-laki yang menggangguku langsung kaget bukan
main. Aku pun iya.
“Kau ingin mati ya?” Hiro menatapku tajam.
Aku diam saja di sudut, memandangnya pasrah.
“Hiro-san…” seru salah satu dari mereka.
“Kalian sedang apa? Mau cari mati juga, HAAAAA!!!!!” bentak Hiro.
Nada bicaranya naik seketika.
“Maaaaaf, maaf Hiro-san!” seru mereka dan langsung pergi
meninggalkanku yang masih membatu. Syok.
Hiro menghampiriku lagi dan melihat bukunya yang telah rusak dalam
dekapanku. Dia melihatku dari atas ke bawah, seperti memastikan apakah aku
terluka karena perbuatan mereka atau tidak. Lalu, dia hanya mencekram pundakku
dan membuatku kesakitan akibatnya.
Aku berlari menaiki tangga menuju atap sekolah dengan
terburu-buru. Sudah hampir tiba waktunya menyerahkan buku-buku dan obatnya ini
sesuai dengan titahnya tadi pagi.
Atap sekolah begitu jauh. Banyak anak tangga yang harus kulewati
meskipun gedung sekolah ini hanya empat lantai. Atap sekolah adalah tempat Hiro
dan teman-temannya nongkrong sambil
merokok atau sekadar tidur melarikan diri dari pelajaran. Mereka memang tak
pernah terlihat serius untuk belajar, selain berkelahi.
Aku tiba di atap. Sepi dan hanya melihatnya duduk bersandar sambil
memejamkan matanya di sebuah kursi kesayangannya yang terlihat seperti mahligai
untuknya.
“Hiro-san.” panggilku pelan.
Perlahan Hiro membuka matanya.
“Ini, semua tugas sudah kukerjakan dan obat-obatanmu.” Aku
menyodorkannya.
“Mana air putihnya?” tanyanya lirih.
“Hah? Kau tak bilang.”
“Cepat bawakan aku air putih sekarang. Kau pikir bagaimana aku
menelan obat-obat ini, haa?” tanyanya dengan nada datar. Seakan tak ada
semangat untuk membentakku seperti biasanya.
“Iya, tunggu sebentar.”
Aku terpaksa turun untuk mencarikannya air putih. Segera aku
berlari menuju kantin membeli sebotol air putih. Lalu, setelah aku
mendapatkannya, dengan tergesa-gesa aku menaiki tangga lagi menuju atap. Aku
menggerutu kesal. Aku sangat membencinya.
Saat aku kembali, Hiro tergeletak di bawah kursinya sambil
menggigil dan berkeringat.
“Hiro-san!” Aku terkejut.
Sekali lagi, aku mencoba membopongnya dan mendudukannya di sebuah
sofa usang yang ada di situ. Aku kebingungan. Badannya panas. Dan dalam
setengah sadarnya ia menunjuk kantong plastik yang berisi obat itu.
“Air putihhhh…..” serunya pelan.
Ku sodorkan saja botol air putih yang telah kubeli di kantin. Aku
melihat bagaimana ia kerepotan membuka plastik obat dan botol air minum itu.
Aku hanya diam saja. Tak sudi aku membantunya setelah apa yang ia lakukan
padaku selama ini. Sisa hidupnya sekalipun tak akan bisa membersihkan luka yang
sudah ia goreskan padaku.
Kalau dia mati sekarang aku justru lebih senang. Benciku padanya
tidak akan pernah berujung. Mati saja kau
sekarang! Gumamku dalam hati bagaikan sumpah serapah tiada akhir.
Entah kenapa, melihat Hiro yang sangat kerepotan karena tangannya
bergetar dan membuatnya lemah bahkan hanya untuk membuka obat dan tutup botol, aku
tiba-tiba menjadi tidak tega. Saat aku membantunya duduk,
badannya memang panas sekali.
Dilema menghantuiku lagi seperti sebuah penyakit kronis.
“Sini, aku bantu membukanya.” kataku.
Hiro melepasnya begitu saja tanpa memberikan perlawanan.
“Mana saja obat yang akan kau minum?” tanyaku agar hal ini cepat berlalu.
“Semua. Satu-satu.” jawabnya pelan dan lirih.
Setelah semuanya kubuka, kusodorkan obat-obatan dan botol minum
padanya. Dia meraihnya pelan. Dengan cepat ia meminum beberapa obat itu dan
menelannya bulat-bulat.
“Jika tidak ada yang perlu aku kerjakan lagi, aku akan kembali ke
kelas.”
“Tidak! Tunggu!” Hiro melarangku kembali. “Duduk saja. Temani aku
dulu di sini.” pintanya dengan wajah pucat. Dia terlihat sedang mencoba untuk
tetap kuat melawan demam yang hinggap di tubuhnya.
“Tapi aku harus mengikuti pelajaran sekarang.”
“Diam! Aku tidak memintamu macam-macam. Duduk!”
Jadi, aku memutuskan untuk duduk diam saja sesuai dengan titahnya.
Dia kembali bersandar dan melihat birunya langit, menselonjorkan kakinya yang
jenjang di atas meja kecil tempat bir dan asbak. Sungguh ini buang-buang waktu.
Gumamku.
“Hana…., apa yang akan kau lakukan nanti malam?” tanyanya
tiba-tiba.
“Hah?”
“Buatkan aku ramen ya!” Dia pun melirikku yang hanya terpaku di
depannya.
Aku termenung sejenak, “Aku sudah lupa cara membuat ramen semenjak
kalian membunuh ibuku.” Jawabku tegas. Memang sejak ibu meninggal, aku paling anti
makan ramen lagi. Dua makanan favoritku sekarang hanyalah sebuah kebencian dan
ingatan yang kelam. Aku tak mau memakannya lagi.
Hiro tersenyum kecut mendengarnya.
“Semua itu tidak akan terjadi kalau ayahmu tidak berhutang pada
kami. Setelah mendapat pinjaman, ayahmu malah ikut judi. Mirisnya, anak
gadisnya yang jadi jaminan.”
Aku menatapnya lekat-lekat penuh kebencian. Memang benar, ayahku
penyebab ibu meninggal dan aku yang terjebak dengan kelompok Kitamura. Semua
ini tidak akan terjadi kalau ayah tak berulah mencari pinjaman pada Tuan
Kitamura.
“Ya, dengarkan aku baik-baik. Harusnya kau beruntung karena
keluarga kami yang membawamu. Coba kalau ayahmu menggadaikanmu pada kelompok Chiba
atau yang lainnya, hidupmu tak akan jauh lebih baik dari sekarang.” kata Hiro
lagi sambil kembali memandang langit.
“Kenapa aku harus bersyukur? Di mana pun ayah menggadaikanku,
selama itu dengan anggota yakuza, tidak ada yang lebih baik.” Mataku
berkaca-kaca hingga tanpa sadar air mata mulai menetes.
“Kira-kira, selama tiga tahun terakhir ini, sudah berapa kali
kau menangis, ya?” tanya Hiro lagi.
Lagi, aku menatapnya benci. Sama sekali tidak ada rasa bersalah
sedikit pun di hatinya. Aku ingin sekali membunuhnya dan menyudahi semua omong
kosong ini.
“Boleh aku pergi sekarang?” tanyaku ingin mengakhir pembicaraan
konyol ini.
Hiro kembali menatapku. Wajahnya masih pucat. Meski begitu, ia
masih kuat untuk menyengir menghinaku.
“Hah, ingat baik-baik! Meskipun sekarang kau hidup dengan yakuza,
ingat siapa yang menyelamatkanmu dari bisnis gelap ayahku, ingat siapa yang
telah menghindarkan anak-anak lain yang merisakmu setiap hari. Kau harus
mensyukuri itu, Hana!”
Aku berdiri. “Aku kembali ke kelas dulu.” dan aku pun beranjak
meninggalkannya.
Tiba-tiba, Hiro mengatakan sesuatu yang menghentikan langkahku dan membuatku berpaling melihatnya lagi.
“Hana….., terima kasih sudah membantuku semalam. Terima kasih juga
sudah membantuku meminum obat. Tak kusangka kau masih punya sisi baik selain
rasa dendammu pada kami.” katanya sambil kembali bersandar dan memejamkan
matanya.
“Hah?” tanyaku tak percaya. Sejak kapan ia tahu terima kasih.
“Hidupmu akan baik-baik saja, Hana. Asal kau percaya saja. Sudah
sana pergi!”
Aku kembali beranjak meninggalkannya dengan penuh heran. Pikiranku
carut marut hanya mendengar kata terima kasih dan petuahnya di akhir
pembicaraan kami di siang bolong ini.
0 comments