DILEMMAPHOBIA - Bab 2

            Kini,

Rumahnya semakin mirip neraka

Tiada tempat berlari.

Aku terikat.

Aku sendiri.

 



Aku terjebak bersama keluarga Yakuza. Selama itu, aku terpaksa mengabdi tanpa ampun pada Hiro dan ayahnya akibat perbuatan ayahku. Tiada hari tanpa perlakuan kasar, dan hilangnya harga diriku di tempat ini. Aku pun tak bisa berbuat banyak selain menangisi kepergian keperawananku yang direnggut Hiro diam-diam.

Aku dibawa paksa oleh Hiro ke sebuah club malam. Dia juga memaksaku meminum segelas minuman yang memabukkan. Kepalaku sangat pusing dibuatnya dan seketika tak ingat apa-apa. Harusnya aku melawan, harusnya aku berani menentang, tapi rasanya seluruh tenagaku telah habis saat menghadapi Hiro dan keluarga Yakuzanya. Saat pagi datang, aku menyadari semuanya telah terjadi. Waktu tak dapat diulang kembali. Tolong siapapun, carikan aku tombol reset, dan semua kegilaan dan kebodohan ini tak akan terjadi. Tangis pun pecah, memegang erat selimut yang membalutku, menariknya mencoba menutupi wajah tangisku yang meledak tak percaya. Sementara dia hanya memandangiku di sudut ruangan, tersenyum puas dengan sebatang rokoknya yang mengepul.

Di tengah kekalutan yang luar biasa, Takeshi Kitamura (ayah Hiro) menyuruhku untuk kembali bersekolah di tempat anaknya, membantu Hiro agar lulus SMA dan tidak membuat malu keluarga besar Kitamura yang sangat terpandang di Osaka. Untuk bisa menjadi pewaris tunggal, Hiro tidak punya pilihan selain menuruti kemauan ayahnya.

Aku membayangkan setidaknya punya kehidupan yang lain selain harus mendekam selamanya di rumah besar ini. Namun, di sekolah maupun di rumah, rasanya sama saja. Selama ada Hiro di situ, hidupku tak pernah ada bedanya. Satu sekolah menjauhiku dan sering kali membullyku. Hiro pun puas melihatku semakin depresi dan hampir gila. Luka dan memarku semakin menjalar ke seluruh tubuh. ingin rasanya untuk mengakhiri ini semua.    

Sejenak aku melupakan kesedihanku dengan belajar. Aku pun bisa menghirup udara bebas di luar rumah keluarga Kitamura, melihat lagi wajah orang-orang Osaka dan semua perubahan di kota ini, meskipun tak bisa kuingkari garis nasibku kini. Aku harus terikat dan membantu Hiro dalam segala hal di hidupnya. Dia memang terlalu banyak berkelahi dengan geng-geng dari sekolah lain, mengabaikan sekolahnya yang sudah 3 tahun tidak lulus. Dia memang terlihat nyaman dengan kegiatannya yang jauh dari kata damai, mungkin saja dia memang tidak berniat untuk lulus karena saking senangnya dengan kehidupannya kini. Berkelahi. Merokok. Minum. Terus berulang. Bahkan, sekolahnya menjadi tak karuan dan sangat tidak kondusif untuk belajar.

Semenjak kejadian di motel, rumah lebih serasa neraka karena Hiro bisa kapan saja merisakku yang lebih ngeri daripada perlakuan yang kudapat di sekolah. Aku ingin kabur, namun aku terlalu lemah dan takut. Namun, Osaka juga adalah rumah. Ke mana aku pergi, entah bersembunyi di dalam sungai atau pun di gorong-gorongnya, tetap akan ketemu. Kelompok Kitamura adalah yakuza yang menguasai seluruh Osaka, bahkan sampai di setiap sudutnya.

Dengan berat, selalu kulangkahkan lagi kaki ini ke rumah itu. Tidak ada gunanya menangis terus, mengecewakan apa yang sudah berlalu. Dan aku pun mulai terbiasa dengan hidupku yang hina ini. Sampai aku punya keberanian untuk melawan. 

***

Di sepertiga malam, saat aku sudah terlalu nyaman dengan mimpiku, seorang antek menggedor pintu paviliun dengan keras. Suaranya terdengar seperti ingin mendobrak pintu cokelat itu. Aku membuka perlahan sambil mencoba berusaha tetap membuka mata. Aku tak mau kejadian itu terulang kembali.

“Hanaaaaa…!!!! Oi, Hana! Buka pintunya! Cepattt!”

Aku berjalan terhuyung-huyung untuk membuka pintu. “Ada apa?” suaraku parau.

“Tuan Kitamura memanggilmu. Cepat sana!”

Dulu, aku paling benci jika tidurku diganggu. Tapi, lagi-lagi aku belum ingin mati. Aku menghampirinya di ruang tamu rumah besar ini. Dia duduk di sofa hitam dan tampak gurat wajah kecewa.

Dia berdeham dan meletakkan cerutunya di atas meja. Lalu, berdiri dan menghampiriku yang masih kebingungan. Apalagi ini? Seharian ini aku tak melakukan salah apapun. Bahkan, selama di sekolah, Hiro dan yang lainnya tak mengganggu.

“Hana, ikut aku ke depan sebentar.” ajak Tuan Kitamura.

Aku hanya mangguk dan mengekorinya sampai ke depan pintu rumah utama. Terlihat banyak ajudan Tuan Kitamura yang berkumpul di depan, dan mereka sedang melihat sesuatu.

“Obati dia! Jangan sampai dia mati sebelum mampu menggantikanku.” pinta Tuan Kitamura dengann santainya.

Betapa terkejutnya aku. Hiro bersimbah darah. Tergeletak setengah sadar dan merintih kesakitan.

“Ada apa ini?” tanyaku spontan.

“Sudah, jangan banyak tanya. Bereskan dia dari jalanku. Aku mau dia sudah bersih besok pagi.”

“Tapi….”

“Aku tidak menyuruhmu banyak bertanya. Aku akan pergi dulu dan besok pagi baru kembali. Tapi, aku baru akan pergi setelah kau membawanya masuk ke kamar. Minta bantuan Bibi Shinai untuk membersihkannya. Bangunkan dia!”

Dengan terpaksa, aku membopoh Hiro dan membawanya ke kamarnya dengan banyak pertanyaan di kepala. Aku juga dibantu Bibi Shinai, kepala urusan rumah tangga keluarga Kitamura yang sudah hampir 20 tahun mengabdi pada keluarga yakuza ini. Hiro yang setengah sadar meringis kesakitan saat kuminta dia berdiri dan berjalan.

Sedikit ngeri melihatnya. Bibi Shinai membasuh tubuhnya yang penuh luka lebam dan bekas tusukan di perut sebelah kanan. Aku hanya membantu menyiapkan alat-alat untuk mengobati Hiro. Sementara itu, Bibi Shinai sama sekali tidak terlihat jijik ataupun ngeri. Seperti sudah kebiasaannya mengurus Hiro.

Hiro nyengir kesakitan saat Bibi Shinai menjahit luka tusukan di perut sebelah kanannya. Adegan ekstrim itu tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ini mimpi buruk namanya, mengapa aku harus terlibat dalam setiap urusannya?

“Maaf ya, Hana. Kau harus repot-repot membantuku.” kata Bibi Shinai sambil menjahit lembut luka Hiro. Wanita paruh baya itu ternyata sangat lihai dalam urusan medis. “Beginilah kehidupan yakuza.”

“Ah, harusnya aku yang meminta maaf. Akulah yang diminta Tuan Kitamura untuk mengurusnya, tapi malah bibi yang mengurus semuanya.” padahal dalam benakku beberapa menit yang lalu, kenapa tidak kubiarkan saja Hiro meregang nyawa di rumahnya sendiri.

“Tidak apa. Sudah biasa begini tiap kali Tuan Kitamura dan tuan muda berkelahi.” papar Bibi Shinai yang tak panik sekalipun.

“Sebenarnya apa yang terjadi?” aku sangat ingin tahu.

Bibi Shinai tersenyum padaku dan seketika melihat Hiro yang sudah terlelap akibat obat bius.

“Luka tusukan itu karena ulah Hiro-san sendiri. Kebiasaanya berkelahi sudah tidak bisa dibendung. Sekali ia berkelahi, hampir seperti ini. Ada beberapa luka tusukan bahkan ia pernah harus dirawat inap karena terlibat tawuran besar. Tapi, yaa.., Tuan Kitamura sangat membenci jika ia pulang dengan luka seperti ini, meskipun menang kalau sudah ditusuk bagi Tuan Kitamura itu adalah sebuah penghinaan.”

Aku justru akan sangat berterima kasih pada siapa saja yang menusuknya. Biar mati sekalian. Dan dengan segala kekacauan yang terjadi, aku bisa pergi diam-diam. 

“Oh…!” jawabku singkat.

“Ya sudah, saatnya kita kembali tidur. Kau pergilah kembali ke paviliunmu, akan kubereskan semua obat-obatan ini.”

“Bibi kembali saja dulu. Biar aku yang bereskan. Bibi sudah mengurus Hiro yang seharusnya itu tugasku. Tidak apa, Bi. Aku saja yang membereskan kekacauan ini.” Aku tak mau saat Hiro bangun dan memberi tahu Tuan Kitamura bahwa bukan aku yang mengobatinya. Makanya, aku memaksa.

“Baiklah. Kembalikan saja obat-obatan ini ketempat tadi, dan buang ini ke dapur saja.” Bibi Shinai menunjuk baskom tempat air untuk membilas luka-luka Hiro dan perlahan pergi meninggalkanku.

Aku mengangguk paham. Kukerjakan semuanya dengan cepat agar aku bisa segera tidur. Tiga jam lagi aku harus bersiap ke sekolah. Ditambah lagi, aku tak mau ada di sini di saat Hiro kembali sadar. 

Ada satu yang kurang dari semua obat dalam kotak ini. Botol obat merah terselip di mana? Tanyaku dalam hati dan kebingungan. Botol kecil itu ada di dekat sebelah kiri tangan Hiro.

Jadi, kuputuskan untuk meraih botol itu melewati tubuhnya yang terbujur lemas dan penuh perban di sana-sini. Sedikit was-was kalau tiba-tiba saja mumi ini bangkit dari tidurnya. Maka dengan cepat saja aku meraihnya meski agak kesusahan saat kulakukan sambil setengah berdiri dan membungkuk.

Kuputuskan untuk duduk di pinggir tempat tidurnya dan perlahan meraih botol obat merah yang terletak agak di tengah itu. Sayangnya, tangan kiri Hiro terlampau lebih cepat dari pergerakanku. Tangan kiri yang terbalut perban itu meraih tangan kananku cepat dan menarikku hingga hampir menimpa tubuhnya. Aku bertahan agar tubuhku tak menimpanya, meskipun wajahku hampir jatuh tepat menghadap wajahnya.

Matanya masih terpejam, dan sejuta kebimbangan perlahan menghampiri. Dia ini kenapa sih?  Apa dia ini psyco? Aku mencoba berdiri melawan tarikannya. Tapi, tangan kanannya juga ikut campur menghadangku untuk tak menjauh dari wajahnya yang penuh luka lebam dan kepala yang diperban.

Aku harus mematung selama beberapa menit dengan posisi yang sama sekali tak kuinginkan. Melihatnya saja dari jauh sudah ingin kubunuh, apalagi sedekat ini. Berkali-kali aku mencoba melawan tarikannya. Walau dalam kondisi luka parah seperti ini, ia masih punya tarikan dan genggaman yang kuat. Aku harus bagaimana?

Kebimbanganku semakin menjadi-jadi tatkala Hiro menggumam cukup keras di depan wajahku.

“Jangan pergi, Hana!” ucapnya tiga kali.

Mataku membelalak dan kembali mematung sejenak sampai ia benar-benar terlelap, melepas cengkeramannya dan aku mengendap-endap pergi dari kamarnya.

 

 

 

You Might Also Like

0 comments