The Effort - Sebuah Cerpen Kisah Nyata

source: pinterest

Duduk termenunglah ia ditemani smartphone abal-abalnya yang tergeletak di atas meja ruang tamu, sambil memandangi mendung dan hujan yang bersatu padu menciptakan hawa sejuk dan dingin di dalam rumah. Saat itu, ia berharap bahwa keajaiban akan datang padanya, di mana semua persoalan yang berkecamuk di hati akan sirna dalam sekejap mata. Lalu, segaris senyuman sinis tampak di wajahnya. Ia sadar, bahwa hal semacam itu sangat tidak mungkin terjadi pada hidupnya. Jika hal itu terjadi, maka tidak ada manusia yang harus bekerja keras demi hidup mereka sekarang.

“Tuhan, bantulah aku. Jadikanlah semua indah pada waktunya !” begitulah gumamnya dengan tatapan putus asa.

“Tuhan tidak akan mengabulkan doamu kalau kau hanya duduk-duduk saja.”

“Hah, siapa itu ?” ia kaget dan bingung.

“Aku hati nuranimu. Hati nurani yang membenci tuannya karena tidak mau berusaha.”

“Ah, kamu tho.” ia kembali murung.

Hati nurani itu pun memarahi tuannya, sedangkan ia hanya bisa murung dan melamun lagi berharap suatu keajaiban. Hampir satu jam ia hanya duduk dan termenung hingga hujan mulai mereda. Tak jarang ia menengok HP-nya apabila ada pemberitahuan penting. Pikirannya pun meliar, berharap ada SMS jackpot ratusan juta rupiah, “Hah, penipuan.” tapi begitulah gerutunya. Lagi-lagi ia menggerutu, sebab tak satupun teman yang mencarinya, mengajak main, atau pun sekadar tanya kabar hidupnya. Hati nurani pun mulai lelah menasihati tuannya agar sesegera mungkin bertindak untuk mengubah hidupnya sendiri. Tetapi bukannya mulai berusaha, ia hanya terus melayangkan ungkapan-ungkapan penyesalan dan kekesalan yang sedari tadi menyelimutinya.

“Kau harus bertindak sekarang juga, sebab Tuhan tidak akan memberikanmu kesempatan kedua jika kau terus seperti ini. Apa yang kau lakukan sekarang ini sama sekali tidak membantumu. Apa kau mengerti ?” kata si hati nurani.

“Kau sendiri mengapa tak membantuku melakukannya ? Mengoceh saja dari tadi juga sama sekali tidak membantu, kau mengerti ?” balasnya.

“Aku adalah hati nuranimu, dan apa yang ingin aku lakukan semua itu bergantung padamu. Kalau kau tidak mendengarkanku dan segera bertindak, maka janganlah berharap tinggi akan datangnya keajaiban.”

“Lantas apa yang harus aku lakukan ? Aku tidak tahu harus bagaimana? Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi gila karena berdebat dengan hati nurani sendiri.”

“Baik. Mulai sekarang, aku tidak akan menceramahimu lagi. Aku juga tidak ingin menjadi hati nurani yang tuannya gila. Ini adalah nasihat terakhir dariku karena aku sudah muak denganmu. Terserah padamu sekarang. Kau mendengarkanku, kau sendiri yang akan menuai apa yang ingin kau capai saat ini. Tapi, kalau kau tidak mendengarkanku, terima akibatnya sendiri dan jangan berharap lebih lagi kepada Tuhan.”

“Hati nuraniku, jangan tinggalkan aku ! pintanya”

“Jangan mencariku saat kau semakin terpuruk dan lebih rendah daripada tanah.”

“Baik. Baiklah, akan aku lakukan. Aku akan berusaha seperti yang kau katakan. Tapi, aku takut harus menelan kekecewaan yang teramat pahit lagi.”

“Jika kau percaya akan adanya Tuhan yang menciptakan dunia ini, maka janganlah takut pada apa pun yang akan kau jumpai dalam hidupmu. Kau seharusnya takut pada Tuhan dan seperti itulah aturan hidup manusia di muka bumi ini.”

“Kau benar, hati nurani. Terima kasih.”

“Hmmm, sama-sama. Sekarang bangkit dan lakukanlah sebelum semuanya terlambat.”

Ia pun bangkit dengan mantap dari kursi kayu yang sedari tadi ia duduki. Ia pun bergegas menuju ke kamar dan membongkar tas ranselnya. Diambilnya sebuah map transparan dengan garis biru di pinggirnya. Di dalam map itu sangat jelas terlihat tumpukan berkas-berkas penting yang dulu sangat malas untuk dibacanya. Setelah itu, ia menaruh map itu ke atas meja belajar bersanding dengan sebuah mini laptop miliknya. Ia pun kembali duduk dan memporak-porandakan meja belajarnya dengan berkas-berkas yang telah ia bongkar. Setelah menemukan apa yang dicarinya, ia pun membacanya dengan saksama sambil menghidupkan mini laptopnya. Setelah paham dan menebali setiap kalimat dengan stabilo berwarna pink, ia pun mulai mengetiknya dengan penuh semangat diiringi doa agar beban hidupnya ini segera sirna berubah menjadi kebahagiaan.

“Tuhan, bimbing aku menyelesaikan skripsiku. Amin.” 

You Might Also Like

0 comments