The Effort - Sebuah Cerpen Kisah Nyata
Duduk termenunglah ia
ditemani smartphone abal-abalnya yang
tergeletak di atas meja ruang tamu, sambil memandangi mendung dan hujan yang
bersatu padu menciptakan hawa sejuk dan dingin di dalam rumah. Saat itu, ia
berharap bahwa keajaiban akan datang padanya, di mana semua persoalan yang
berkecamuk di hati akan sirna dalam sekejap mata. Lalu, segaris senyuman sinis
tampak di wajahnya. Ia sadar, bahwa hal semacam itu sangat tidak mungkin
terjadi pada hidupnya. Jika hal itu terjadi, maka tidak ada manusia yang harus bekerja
keras demi hidup mereka sekarang.
“Tuhan, bantulah aku.
Jadikanlah semua indah pada waktunya !” begitulah gumamnya dengan tatapan putus
asa.
“Tuhan tidak akan
mengabulkan doamu kalau kau hanya duduk-duduk saja.”
“Hah, siapa itu ?” ia
kaget dan bingung.
“Aku hati nuranimu. Hati
nurani yang membenci tuannya karena tidak mau berusaha.”
“Ah, kamu tho.” ia
kembali murung.
Hati nurani itu pun
memarahi tuannya, sedangkan ia hanya bisa murung dan melamun lagi berharap
suatu keajaiban. Hampir satu jam ia hanya duduk dan termenung hingga hujan
mulai mereda. Tak jarang ia menengok HP-nya apabila ada pemberitahuan penting.
Pikirannya pun meliar, berharap ada SMS jackpot
ratusan juta rupiah, “Hah, penipuan.” tapi begitulah gerutunya. Lagi-lagi ia
menggerutu, sebab tak satupun teman yang mencarinya, mengajak main, atau pun
sekadar tanya kabar hidupnya. Hati nurani pun mulai lelah menasihati tuannya
agar sesegera mungkin bertindak untuk mengubah hidupnya sendiri. Tetapi bukannya
mulai berusaha, ia hanya terus melayangkan ungkapan-ungkapan penyesalan dan
kekesalan yang sedari tadi menyelimutinya.
“Kau harus bertindak
sekarang juga, sebab Tuhan tidak akan memberikanmu kesempatan kedua jika kau terus
seperti ini. Apa yang kau lakukan sekarang ini sama sekali tidak membantumu.
Apa kau mengerti ?” kata si hati nurani.
“Kau sendiri mengapa tak
membantuku melakukannya ? Mengoceh saja dari tadi juga sama sekali tidak
membantu, kau mengerti ?” balasnya.
“Aku adalah hati
nuranimu, dan apa yang ingin aku lakukan semua itu bergantung padamu. Kalau kau
tidak mendengarkanku dan segera bertindak, maka janganlah berharap tinggi akan
datangnya keajaiban.”
“Lantas apa yang harus
aku lakukan ? Aku tidak tahu harus bagaimana? Mungkin sebentar lagi aku akan
menjadi gila karena berdebat dengan hati nurani sendiri.”
“Baik. Mulai sekarang,
aku tidak akan menceramahimu lagi. Aku juga tidak ingin menjadi hati nurani
yang tuannya gila. Ini adalah nasihat terakhir dariku karena aku sudah muak
denganmu. Terserah padamu sekarang. Kau mendengarkanku, kau sendiri yang akan
menuai apa yang ingin kau capai saat ini. Tapi, kalau kau tidak mendengarkanku,
terima akibatnya sendiri dan jangan berharap lebih lagi kepada Tuhan.”
“Hati nuraniku, jangan
tinggalkan aku ! pintanya”
“Jangan mencariku saat
kau semakin terpuruk dan lebih rendah daripada tanah.”
“Baik. Baiklah, akan aku
lakukan. Aku akan berusaha seperti yang kau katakan. Tapi, aku takut harus
menelan kekecewaan yang teramat pahit lagi.”
“Jika kau percaya akan
adanya Tuhan yang menciptakan dunia ini, maka janganlah takut pada apa pun yang
akan kau jumpai dalam hidupmu. Kau seharusnya takut pada Tuhan dan seperti
itulah aturan hidup manusia di muka bumi ini.”
“Kau benar, hati nurani.
Terima kasih.”
“Hmmm, sama-sama.
Sekarang bangkit dan lakukanlah sebelum semuanya terlambat.”
Ia pun bangkit dengan
mantap dari kursi kayu yang sedari tadi ia duduki. Ia pun bergegas menuju ke
kamar dan membongkar tas ranselnya. Diambilnya sebuah map transparan dengan garis biru di pinggirnya. Di dalam map itu sangat jelas terlihat tumpukan berkas-berkas
penting yang dulu sangat malas untuk dibacanya. Setelah itu, ia menaruh map itu ke atas meja belajar bersanding
dengan sebuah mini laptop miliknya. Ia pun kembali duduk dan
memporak-porandakan meja belajarnya dengan berkas-berkas yang telah ia bongkar.
Setelah menemukan apa yang dicarinya, ia pun membacanya dengan saksama sambil
menghidupkan mini laptopnya. Setelah paham dan menebali setiap kalimat dengan
stabilo berwarna pink, ia pun mulai mengetiknya dengan penuh semangat diiringi
doa agar beban hidupnya ini segera sirna berubah menjadi kebahagiaan.
“Tuhan, bimbing aku
menyelesaikan skripsiku. Amin.”
0 comments